Minggu, 20 Februari 2011

Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil



Islam mendorong praktek bagi hasil serta mengharamkan riba. Keduanya sama-sama memberi keuntungan bagi pemilik dana, namun keduanya mempunyai perbedaan yang sangat nyata.

Perbedaan itu dapat dijelaskan sebagai berikut:

• Bunga : Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi harus selalu untung
Bagi Hasil : Penentuan besarnya rasio/ nisbah bagi hasil dibuat pada waktu akad dengan berpedoman pada kemungkinan untung rugi

• Bunga : Besarnya persentase berdasarkan pada jumlah uang (modal) yang dipinjamkan
Bagi Hasil : Besarnya rasio bagi hasil berdasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh

• Bunga : Pembayaran bunga tetap seperti yang dijanjikan tanpa pertimbangan apakah proyek yang dijalankan oleh pihak nasabah untung atau rugi


Bagi hasil : tergantung pada keuntungan proyek yang dijalankan. Bila usaha merugi, kerugian akan
ditanggung bersama oleh kedua belah pihak.

• Bunga : Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun jumlah keuntungan berlipat atau keadaan ekonomi sedang “booming”

Bagi hasil : Jumlah pembagian laba meningkat sesuai dengan peningkatan jumlah pendapatan.

• Bunga : Eksistensi bunga diragukan (kalau tidak dikecam) oleh beberapa kalangan

Bagi hasil : Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil


2. Maysir/Qimar

Maysir; adalah setiap tindakan atau perdagangan yang bersifat untung-untungan/spekulatif yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi seperti membawa dampak terjadinya praktik kepemilikan harta secara bathil.

Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah mendefinisikan maysir sebagai transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti atau bersifat untung-untungan.


3. IHTIKAR

1. Pengertian Ihtikar
Ihtikar artinya zalim (aniaya) dan merusak pergaulan. Upaya penimbunan barang dagangan untuk menunggu melonjaknya harga.

Para ulama mengemukakan definisi ihtikar yakni:

- Imam Muhammad bin Ali Asy-Syaukani (ahli Fiqih Madzhab Zaidiyah) mendefinisikan “penimbunan/penahanan barang dagangan dari perdarannya.”

- Imam Al-Ghazali (Madzhab Syafi’i) mendefinisikannya “penyimpanan barang dagangan oleh penjual makanan untuk menunggu melonjaknya harga dan penjualannya ketika harga elonjaknya.”

- Ulama Madzhab Maliki mendefinisikannya dengan “penyimpanan barang oleh produsen baik makanan, pakaian dan segala barang yang meusak pasar.”

Ketiga definisi tesebut, boleh dikatakan mempunyai pengertian yang sama, yaitu ada upaya dari seseorang orang menimbun barang pada saat barang itu langka atau diperkirakan harga akan naik, seperti kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM).


2. Dasar Hukum Ihtikar

Dasar hukum yang digunakan para ulama fikih yang tidak membolehkan Ihtikar adalah kandungan nilai-nilai universal al-Qur’an yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan aniaya, termasuk di dalamnya ihtikaar diharamkan oleh agama Islam.

Diantara ayat-ayat tersebut adalah firman Allah dalam surat Al-Maidah:2

… Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan kebajikan dan taqwa dan janganlah tolng-menolonglah dalam berbuat dosa dan pelanggaran … (Al-Maidah:2)

Firman Allah:
… Dan Dia tidak sekali-kali menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan… (Al-Hajj: 78)

Sabda Rasulullah SAW:
“Siapa yang merusak harga pasar hingga harga itu melonjak tajam, maka Allah akan menempatkannya di dalam neraka pada hari kiamat.” (HR. Thabrani)


Hukum Ihtikar
Berdasarkan ayat Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah diatas, para ulama sepakat mengatakan, bahwa Ihtikar tergolong dalam perbuatan yang dilarang (haram).

4.Jual beli gharar yaitu jual beli yang belum jelas barangnya, jual beli mengandung resiko dan membawa mudharat karena mendorong seseorang untuk mendapatkan apa yang diinginkannya sementara dibalik itu justru membahayakannya. Setiap jual beli yang masih belum jelas barangnya atau tidak berada dalam kuasanya alias di luar jangkauan termasuk jual beli gharar. Misalnya membeli buah belum masak yang masih di pohon (Ijon). Atau membeli anak sapi yang masih di dalam kandungan. Semua itu fasid (tidak sah) karena barang yang dibeli belum jelas dan tidak bisa diserahkan langsung kepada si pembeli.

Selain ke empat hal diatas, koperasi syariah juga tidak diperkenankan melakukan transaksi-transaksi derivative, seperti permainan saham atau permainan Kurs mata uang.

Mengenai pembiayaan kebutuhan biaya anak sekolah, di bank-bank syariah terdapat produk pembiayaan multijasa. Jenis pembiayaan ini dapat digunakan untuk membiayai kebutuhan konsumsi, seperti pembiayaan kebutuhan sekolah, menunaikan ibadah haji dan umrah, pembiayaan kebutuhan rumah sakit, dsb.

Akad dari pembiayaan multijasa adalah akad ijaroh dan kafalah.


Pengertian Akad Ijarah (Pengupahan)

Pengertian secara bahasa : “Menjual manfaat / kegunaan”. Sedangkan secara istilah : “Akad untuk mendapatkan manfaat dengan pembayaran”.

“Dan jika mereka telah menyusukan buat kamu, maka berilah upah kepada mereka“. (At-Tholak : 6).

“Salah satu dari keduanya berkata : Wahai ayahku, sewalah dia, sesungguhnya orang yang terbaik yang kau sewa adalah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (Al-Qoshos: 26)

“Berilah upah buruh sebelum kering keringatnya“. (H.R. Abu Ya’la, Ibnu Majah, Tabrani dan Tirmidzi).

“Sesungguhnya Rasululah SAW berbekam dan memberikan upah kepada pembekamnya.” (H.R.Bukhori, Muslim dan Ahmad).

Pada prinsipnya terdapat kesepakatan di kalangan para sahabat sebelum kedatangan beberapa orang seperti Hasan Basri dan Abu Bakar al-Ashom, Ibnu Kisan, Ismail bin Aliyah, Qosyani dan Nahroni. Ijarah ini dibolehkan karena manusia memerlukan akad semacam ini dalam kehidupan muamalah mereka.

Rukun Ijaroh

1. Mu’jar ( Orang / barang yang diupah/disewa).
2. Musta’jir ( Orang yang menyewa/ mengupah)
3. Shighot ( Ijab dan qobul).
4. Upah dan manfaat.

Kaidah-Kaidah dalam Ijaroh :

• Semua barang yang dapat dinikmati manfaatnya tanpa mengurangi substansi barang tersebut, maka barang tersebut dapat disewakan.

• Semua barang yang pemanfaatannya dilakukan sedikit demi sedikit tetapi tidak mengurangi substansi barang itu seperti susu pada unta dan air dalam sumur dapat juga disewakan.

• Uang dari emas atau perak dan tidak dapat disewakan karena barang-barang ini setelah dikonsumsi menjadi hilang atau habis.
Syarat Ijaroh :

• Baik Mu’jar atau musta’jir harus balig dan berakal.

• Musta’jir harus benar-benar memiliki barang yang disewakan itu atau mendapatkan wilayah untuk menyewakan barang itu.

• Kedua pihak harus sama-sama ridho menjalankan akad.

• Manfaat yang disewakan harus jelas keadaannya maupun lama penyewaannya sehingga tidak menimbulkan persengketaan.

• Manfaat atau imbalan sewa harus dapat dipenuhi secara nyata dan secara syar’i. Misalnya tidak diperbolehkan menyewakan mobil yang dicuri orang atau perempuan haid untuk menyapu masjid.

• Manfaat yang dapat dinikmati dari sewa harus halal atau mubah karena ada kaidah ” menyewakan sesuatu untuk kemaksiatan adalah haram hukumnya”.

• Pekerjaan yang diupahkan itu tidak merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan oleh orang yang diupah sebelum terjadinya akad seperti menyewa orang untuk sholat.

• Orang yang diupah tidak boleh menikmati manfaat karena pekerjaannya. Tidak boleh pengupahan (ijaroh) terhadap amalan-amalan thoat.

• Upah harus berupah harta yang secara syar’i bernilai.

• Barang yang disewakan tidak cacat yang dapat merugikan pihak penyewa..

Berakhirnya akad ijaroh :

• Salah satu pihak meninggal dunia ; jika barang yang disewakan itu berupa hewan maka kematiannya mengakhiri akad ijaroh.

• Kedua pihak membatalkan akad dengan iqolah.

• Barang yang disewakan hancur atau rusak.

• Masa berlakunya akad telah selesai.

Ketentuan Akad Kafalah (penjaminan)

Pertama : Ketentuan Umum Kafalah

1. Pernyatan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).

2. Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak memberatkan.

3. Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.


Kedua : Rukun dan Syarat Kafalah

1. Pihak penjamin (Kafiil)

a. Baligh (dewasa) dan berakal sehat.

b. Berhak penuh untuk melakukan tindakan hukum dalam urusan hartanya dan rela (ridha) dengan tanggungan kafalah tersebut.


2. Pihak Orang yang berhutang (Ashiil, Makfuul ‘anhu)

a. Sanggup menyerahkan tanggungannya (piutang) kepada penjamin

b. Dikenal oleh penjamin.


3. Pihak orang yang berpiutang (Makfuul Lahu).

a. Diketahui identitasnya.

b. Dapat hadir pada waktu akad atau memberikan kuasa.

c. Berakal sehat.


4. Obyek Penjaminan (Makful Bihi).

a. Merupakan tanggungan pihak/orang yang berhutang, baik berupa uang,benda maupun pekerjaan.

b. Bisa dilaksanakan oleh penjamin,

c. Harus merupakan piutang mengikat (lazim), yang tidak mungkin hapus kecuali setelah dibayar atau dibebaskan.

d. Harus jelas nilai, jumlah dan spesifikasinya.

e. Tidak bertentangan dengan syari’ah (diharamkan).


Ketiga : Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.